Lucia Endang Hartiti SKp MN : Belajar Hidup dari Keperawatan Anak

PEREMPUAN lulusan Akademi Keperawatan Departemen Kesehatan Jakarta 1983 ini, mengaku tak ingin pindah ke lain hati. Padahal ia yang menggeluti dunia keperawatan anak sejak 1990, sebelumnya, tidak menyukai departemen itu

Lucia Endang Hartiti SKP MN diperkenalkan dunia keperawatan anak saat pelatihan klinik anak di Bandung. Sejak itu, ketertarikannnya makin kuat. Ia bahkan kemudian mengambil pendidikan pendek keperawatan anak di Kanada. Mata Lucia pun semakin terbuka, ternyata keperawatan anak adalah dunia yang menarik. ‘’Sebelumnya saya tidak suka dengan keperawatan anak. Saya melihat banyak perawat anak yang judes dan sepertinya tidak menyayangi anak-anak. Anak nangis dibiarkan saja. Kasihan anak-anak yang dirawat, saya jengkel dengan perawatnya,’’ papar dosen keperawatan anak Akademi Keperawatan Depkes Semarang itu.

Saat di Kanada, ia melihat fakta yang bertolak belakang. Perawat anak di negara tersebut memperlakukan anak dengan sangat lembut. ‘’La ini kok bisa seperti itu, perawat di sana kok bisa lembut dengan anak-anak. Jadi sebetulnya, kita bisa juga lembut dengan anak, dan tidak harus galak,’’ ujar perempuan kelahiran Yogyakarta, 16 Maret 1962.

Itu yang menjadi pemicu Lucia untuk mengubah wajah perawat anak di Indonesia. Baginya, perawat anak tidak harus galak. Bahkan seorang perawat anak harus memiliki sisi keibuan yang kuat. Setelah perjalanan lumayan panjang, akhirnya dia bersama koleganya pada 2002 mendekalrasikan organisasi keparawatan anak di Ambarawa yang menjadi cikal bakal Ikatan Perawat Anak Indonesia (IPANI). ‘’Setelah itu sempat tidur lama, dan organisasi ini mulai aktif lagi 2005,’’ tambah lulusan S-1 Keperawatan UI tahun 1998.

Di University of Melbourn, Australia, saat menyelesaikan studi S-2, ia bergaul akrab dengan aktivis keperawatan anak dari Australia, Linda S. Ia pun menjadikan pengalamannya di Australia itu sebagai role model mengembangkan keperawatan anak. ‘’Perawat anak di sini harus berubah. Untuk mengubah perilaku itu, ya harus meningkatkan pendidikan. Tidak cukup hanya D-3. Harus sekolah lagi, karena dengan pendidikan, kesadaran perawat untuk merawat anak akan lebih baik,’’ tandas Lucia.

Belajar dari Pasien

Ia mengakui pergulatannya dengan keperawatan anak ternyata mengimbas pada pribadinya. Ia mengaku banyak berlatih kesabaran, dan menerapkan ilmu yang dipelajari dalam mendidik anak. ‘’Misalnya saja menangani remaja tidak boleh tangan besi. Saya sebagai seorang Ibu harus bisa melakukan itu dengan bekal ilmu yang saya pelajari, beda dengan Bapak yang lebih strike pada anak,’’ katanya

Memang tidak gampang. Tetapi itu menurutnya adalah konsekuensi logis. Tidaklah lucu jika ia belajartentang keperawatan anak, tetapi tidak bisa mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. ‘’Jadi ini juga mengingatkan pada diri sendiri. Saya belajar banyak dari orang lain, menjadi referensi dalam perjalanan hidup,’’ katanya

Lucia mengatakan seorang perawat anak harus bisa memahami keadaan keluarga pasien, dan memberikan pemahaman dengan cara yang masuk akal. Kepada keluarga pasien anak pengidap leukemia yang harapan hidupnya tipis, misalnya, ia tidak akan menghibur dengan kata-kata ‘’Bersabar ya Bu, semoga lekas sembuh!’’ Tapi ia mencoba realistis. ‘’Saya katakan Anda menjadi berkah bagi orang lain. Kesabaran Ibu akan menjadi contoh bagi orang lain. Jadi walaupun misalnya harus pasang ventilatror pada anaknya, sang ibu bisa tetap happy, merawat anaknya dengan kegembiraan, suaminya juga tambah saying melihat perjuangannya merawat anak,’’ ceritanya

Lucia mengaku belajar banyak dari pasien. Seringkali ia merasa bahwa hidupnya paling susah, ternyata banyak yang lebih susah. ‘’ Terutama ketika menghadapi masalah anak, saya bisa menghibur diri saya sendiri, jalani, dan hadapi. Termasuk ketika saya belum dipercaya menjadi seorang eyang karena anak saya keguguran. Saya bisa menghibur diri, ternyata banyak yang lebih susah dari saya,’’ ujar ibu dari dua anak itu.

Ia juga belajar dari suaminya, Kristian Siregar yang tegar menjadi seorang atlet paralimpic nasional. Ia semakin mengerti bahwa nobody perfect, tak ada manusia yang sempurna. ‘’Ketidak sempurnaan itu yang membuat kita menjadi sempurna. Hidup ajarkan saya untuk sabar. Dengan begitu, ada kesadaran untuk membuat yang susah bisa menjadi mudah. Saling menguatkan. Saya yang dulunya tidak percaya diri, karena semangat dari suami menjadi bisa percaya diri,’’ kata perawat anak yang di PPNI, duduk di bidang Majelis Kehormatan Etik Keperawatan (MKEK). Di bidang ini, bersama koleganya Arwani, bekerja keras melahirkan Medres, sebagai pedoman etik bagi perawat.

Anak nomor 2 dari 4 bersaudara, keluarga R Kusmin Yudho Kusumo dan Sisilia Sujinah itu meyakini bahwa etik keperawatan sangat penting. Perawat harus menyadari bahwa MKEK sangatlah vital. ‘’Perawat tidak hanya terampil dan pinter, tapi harus beretika. Semua harus tahu bahwa etika profesi sangatlah penting,’’ ujar dosen Akper Depkes Semarang itu.

Kini ia pun berkeyakinan bahwa organisasi adalah sekolah hidup. Di sana, baik di PPNI maupun IPANI, ia belajar kepemimpinan dan manajemen. Ia juga belajar memasarkan diri untuk mengenalkan IPANI. Dan ternyata, bukan soal mudah mengorganisasi dan meggerakan orang lain. ‘’Saya belajar itu. Akhirnya saya paham bahwa jangan bertanya apa yang organisasi berikan pada saya, tapi apa yang bisa saya berikan untuk organisasi. Itu prinsip saya,’’ kata Lucia

Leave a Reply

avatar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

  Subscribe  
Notify of